Cilegon – Fspkep.id | Kamis, 1 Mei 2025 Ratusan buruh dari berbagai sektor industri di Kota Cilegon bergerak menuju Jakarta sejak Kamis pagi untuk memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Monumen Nasional (Monas). Aksi ini bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi bentuk ekspresi politik dan sosial dari kelas pekerja yang merasa diabaikan oleh kebijakan negara.
Dikoordinasi oleh Panglima Daerah Banten, Lalan Jaelani, dan dikawal aparat kepolisian, massa buruh bergerak dengan damai namun penuh tekad. Mereka membawa pesan besar: Wujudkan Negara Sejahtera (Welfare State) sebuah bentuk kritik terhadap ketimpangan sosial yang terus melebar di tengah pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketua DPC FSP KEP Cilegon, Rudi Syahrudin, menyatakan bahwa kehadiran buruh di Jakarta adalah refleksi dari kegagalan negara dalam menjamin hak-hak dasar pekerja.
“Negara ini dibangun di atas kerja keras buruh, tapi buruh justru sering menjadi korban sistem. Outsourcing masih merajalela, upah minimum jauh dari layak, dan perlindungan kerja nyaris ilusi. Kami tidak sedang berunjuk rasa, kami sedang menyelamatkan masa depan,” ujar Rudi.
Di tengah pertumbuhan investasi industri di Banten khususnya Cilegon ketimpangan antara produktivitas perusahaan dan kesejahteraan buruh justru makin terasa. Buruh masih bergulat dengan kontrak jangka pendek, sistem kerja fleksibel tanpa jaminan sosial, hingga PHK sepihak tanpa dasar hukum kuat.
Adapun tuntutan utama yang diusung dalam aksi ini antara lain:
1. Penghapusan sistem outsourcing
2. Penetapan upah layak yang sesuai kebutuhan hidup riil
3. Pembentukan Satgas PHK independen
4. Pengesahan RUU Ketenagakerjaan pro-buruh
5. Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)
6.Pemberantasan korupsi sistemik
7. Pengesahan RUU Perampasan Aset
Ketujuh isu ini menunjukkan bahwa perjuangan buruh tak hanya soal ekonomi, tapi juga menyentuh akar-akar problem struktural dari ketimpangan kuasa antara pemilik modal dan tenaga kerja, serta lemahnya keberpihakan kebijakan publik terhadap rakyat pekerja.
Siapa yang Mendengar Suara Buruh?
Pemerintah sejauh ini cenderung responsif terhadap permintaan investor, namun lamban menindaklanjuti aspirasi buruh. RUU Ketenagakerjaan yang progresif tak kunjung disahkan, sementara RUU kontroversial seperti Omnibus Law bisa lolos dalam hitungan minggu. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa regulasi dikuasai oleh logika pasar, bukan keadilan sosial.
Di sisi lain, upaya kriminalisasi terhadap serikat buruh di beberapa daerah menunjukkan adanya tekanan politik yang justru mengkerdilkan demokrasi industrial.
May Day Bukan Festival, Ini Momentum Politik
Hari Buruh Internasional sejatinya adalah panggung perlawanan kelas pekerja. Namun dalam beberapa tahun terakhir, makna itu cenderung dipinggirkan oleh pendekatan seremonial yang tidak menyentuh persoalan riil.
Aksi buruh Cilegon ke Monas hari ini mengembalikan makna May Day sebagai momentum untuk menantang ketimpangan dan menagih janji konstitusi: kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Yusron)
Leave a Reply