Opini Kritis Ketua DPC FSP KEP Kota Cilegon : UU Cipta Kerja Adalah Alat Eksploitasi, Serikat Pekerja Harus Bangkit dan Bersatu

Banten, Fspkep.id | Ketua DPC FSP KEP Kota Cilegon Abah Rudi menyatakan dengan tegas bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bukanlah reformasi pro-buruh, melainkan bentuk nyata pembiaran negara terhadap eksploitasi tenaga kerja secara legal dan terstruktur. Dalam praktiknya, UU ini lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal daripada melindungi hak-hak dasar buruh Indonesia.

Pertama, sistem PKWT yang tanpa batas waktu adalah jebakan bagi jutaan pekerja agar tetap hidup dalam ketidakpastian. Status kerja tidak lagi menjadi jaminan kesejahteraan, melainkan alat kendali agar buruh tidak bersuara karena takut tidak diperpanjang kontraknya.

Kedua, outsourcing yang tidak dibatasi hanya pada pekerjaan penunjang mengakibatkan buruh inti kehilangan kepastian hak, tunjangan, dan rasa aman. Ketua DPC FSP KEP Kota Cilegon menegaskan bahwa outsourcing harus dibatasi secara ketat, dan jika diterapkan pada pekerjaan inti, maka itu bukan efisiensi tetapi penghilangan tanggung jawab pengusaha terhadap kesejahteraan buruh.

Ketiga, meningkatnya praktik PHK sepihak tanpa melibatkan serikat pekerja merupakan indikasi langsung lemahnya posisi tawar buruh, sekaligus bentuk nyata pengabaian terhadap hak berserikat. Banyak perusahaan melakukan PHK bukan karena alasan rasional, tetapi karena ingin memutus buruh yang aktif dalam organisasi. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan serangan terhadap demokrasi industrial.

Keempat, penghapusan upah minimum sektoral serta penyederhanaan pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah pengkhianatan terhadap perjuangan panjang gerakan buruh. Semua kemajuan perlindungan yang dibangun sejak Reformasi kini diruntuhkan demi dalih “kemudahan berusaha”.

“UU Cipta Kerja telah menjadi mesin pemiskinan buruh. Negara seolah-olah hadir untuk investor, tapi absen bagi pekerja. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Ketua DPC FSP KEP Kota Cilegon.

Karena itu, beliau mendesak agar:
1. PKWT kembali dibatasi secara jelas dan adil.
2. Outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang.
3. PHK tidak boleh dilakukan tanpa melibatkan serikat pekerja.

Lebih dari itu, beliau juga menekankan bahwa serikat pekerja harus lebih kompak dan solid. Tidak boleh ada lagi gerakan buruh yang tercerai-berai atau mudah dibeli oleh kepentingan politik atau perusahaan.

“Kalau kita tidak bersatu, kita akan dilibas satu per satu. Perjuangan buruh bukan hanya soal upah dan kerja, tapi soal harga diri dan masa depan. Saat pengusaha dan negara semakin kuat, kita hanya punya satu senjata: solidaritas!” ujarnya.

Seruan ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan untuk bersatu. Jika buruh diam, hukum yang menindas akan menjadi normal. Jika buruh kompak, hukum yang tidak adil akan dipaksa berubah. [Yusr]

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *