Oleh : Tubagus Wahyudi | Tim Media DPP Serikat Pekerja FSPKEP Indonesia
Jakarta, fspkep.id | Penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) kembali menjadi perdebatan hangat di berbagai daerah di Indonesia. UMSK, sebagai instrumen kebijakan yang ditujukan untuk menjamin upah layak bagi buruh di sektor-sektor unggulan, nyatanya menghadirkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, buruh mendesak kenaikan upah agar sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Di sisi lain, kalangan pengusaha, terutama pelaku UMKM, menyatakan keberatan dengan potensi lonjakan biaya produksi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Polemik ini mencerminkan pertarungan dua kepentingan yang sama-sama vital: kesejahteraan pekerja dan kelangsungan dunia usaha.
Secara faktual, implementasi UMSK tidak seragam di seluruh Indonesia. Beberapa daerah seperti Jawa Timur dan DIY masih konsisten menetapkan UMSK berdasarkan sektor-sektor tertentu. Di Surabaya misalnya, UMSK 2025 mencapai lebih dari Rp5 juta, terutama di sektor permesinan dan kimia. Di DIY, sektor hotel dan restoran menetapkan UMSK tertinggi sebesar Rp2.684.957, naik sekitar 7,7% dari tahun sebelumnya. Namun, di daerah lain seperti Jawa Tengah, hanya beberapa kabupaten seperti Jepara dan Semarang yang menetapkan UMSK. Hal ini mengindikasikan belum adanya standar dan komitmen nasional yang kuat terhadap penerapan UMSK secara menyeluruh.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan UMSK juga mengandung risiko serius jika tidak dikelola dengan baik. Di Kabupaten Jepara, misalnya, sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) menunjukkan bahwa keputusan menaikkan UMSK dapat berdampak signifikan terhadap keberlangsungan sektor industri. Sekitar 33 perusahaan di sektor mebel dan rotan dilaporkan terancam gulung tikar, dengan potensi PHK terhadap 7.000 pekerja. Tidak hanya itu, terdapat indikasi bahwa investasi senilai Rp2,4 triliun akan hengkang dari wilayah tersebut, disertai dengan proyeksi penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 2,5–5%, serta peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran. Data ini menggarisbawahi bahwa kenaikan UMSK tanpa mempertimbangkan kapasitas adaptasi dunia usaha justru bisa berdampak kontra-produktif.
Dari sisi pengusaha, keberatan terhadap UMSK juga dilontarkan secara terbuka. Di Mojokerto, APINDO mengingatkan bahwa kenaikan UMSK sebesar 6,5% akan membebani UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Mereka menilai, kebijakan tersebut dapat mendorong pelaku usaha kecil untuk melakukan efisiensi tenaga kerja, menaikkan harga jual, bahkan menutup usahanya. Hal serupa juga terjadi di Makassar, di mana serikat buruh menilai ketimpangan penetapan sektor penerima UMSK tidak logis. Sektor kelistrikan dan manufaktur yang memiliki risiko kerja tinggi tidak mendapatkan UMSK, sementara sektor makanan justru mendapatkannya. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi yang lebih mendalam atas sektor mana yang benar-benar layak menerima UMSK berdasarkan produktivitas dan risiko kerja.
Di sisi buruh, tuntutan untuk tetap mempertahankan bahkan menaikkan UMSK semakin menguat. Di Yogyakarta, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mengkritik keras nilai UMSK yang dianggap jauh dari kebutuhan hidup layak. Mereka menuntut upah minimum sektor mencapai Rp3,5 – 4 juta per bulan, dengan dalih bahwa upah saat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja, terlebih di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup di kota pelajar tersebut. Sementara itu, Sunandar Ketua Umum DPP Serikat Pekerja FSPKEP KSPI berpandangan agar revisi UMSK tidak justru menurunkan nilai upah dari standar yang layak. Menurutnya, upah minimum sektoral seharusnya mencerminkan keadilan bagi buruh dan menjadi wujud nyata komitmen pemerintah daerah dalam melindungi hak serta kesejahteraan pekerja.
Secara normatif, keberadaan UMSK saat ini telah kembali mendapatkan legitimasi hukum melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengembalikan kewenangan gubernur dalam menetapkan UMSK berdasarkan usulan dewan pengupahan kabupaten/kota. Ini membuka kembali peluang penetapan upah sektoral sebagai instrumen perlindungan pekerja formal di sektor unggulan. Namun demikian, legalitas ini belum dibarengi dengan formula penetapan yang kuat dan berkeadilan. Zainudin, pengurus DPP FSPKEP, menyebut bahwa formula baru berdasarkan PP 51 Tahun 2023 bermasalah karena menghitung upah berdasarkan konsumsi per kapita, bukan dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hal ini menyebabkan disparitas besar antara upah yang diterima buruh dan realitas biaya hidup yang mereka hadapi di lapangan.
Dalam konteks kebijakan, maka diperlukan perbaikan menyeluruh dalam mekanisme penetapan UMSK. Pertama, formula penghitungan harus kembali merujuk pada KHL yang riil dan kontekstual, bukan semata-mata pada indikator statistik makro yang tidak mencerminkan kondisi lokal. Kedua, pemerintah daerah dan pusat harus mendorong terciptanya dialog tripartit yang sejati melibatkan serikat pekerja, asosiasi pengusaha, dan akademisi untuk menyepakati angka UMSK yang rasional dan bisa dijalankan semua pihak. Ketiga, diperlukan intervensi kebijakan berupa kompensasi fiskal bagi sektor usaha yang terdampak, seperti insentif pajak, subsidi upah, dan pelatihan peningkatan produktivitas. Terakhir, monitoring dan evaluasi berkala terhadap dampak UMSK wajib dilakukan agar dapat menjadi dasar bagi perumusan kebijakan tahun berikutnya.
Kesimpulannya, UMSK bukan sekadar angka. Ia adalah instrumen politik ekonomi yang dapat menjadi jembatan kesejahteraan jika dikelola secara adil dan berbasis data. Tanpa itu, UMSK berpotensi menjadi pemicu konflik industrial dan ketimpangan sosial. Pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha harus duduk bersama untuk menyusun ulang kerangka penetapan UMSK secara cermat dan holistik. Keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan keberlangsungan usaha bukan hanya mungkin, tetapi mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial-ekonomi di tingkat daerah maupun nasional.
Baca juga :
Audiensi KSPI dengan badan kehormatan DPRD Kota Cilegon
DPC FSP KEP Kabupaten Gresik Mengawal Implementasi Pendidikan yang Murah dan Berkeadilan
Leave a Reply