Oleh: [Tubagus Wahyudi] | Tim Media Serikat Pekerja fspkep Indonesia
Jakarta, fspkep.id | Dalam perspektif hukum ketenagakerjaan, negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk menjamin perlindungan atas hak-hak normatif pekerja. Amanat ini tercantum tegas dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Salah satu instrumen utama dalam perlindungan itu adalah keberadaan BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK), lembaga jaminan sosial negara yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan justru menyisakan banyak persoalan hukum yang kompleks. Mulai dari maladministrasi, pembiaran atas pelanggaran hak pekerja, lemahnya sanksi hukum terhadap pemberi kerja yang abai, hingga permasalahan pengelolaan dana publik yang berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian dan transparansi.
Mal administrasi dan Pengingkaran Hak Substantif
Ditemukannya maladministrasi oleh Ombudsman RI tahun 2022, mulai dari keterlambatan pencairan manfaat, penyimpangan prosedur, hingga keluhan layanan, sesungguhnya bisa dikualifikasikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak substantif pekerja. Hak atas manfaat JHT, JKK, JKM, dan JP adalah bagian dari perlindungan normatif sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 (yang sebagian telah digantikan UU Cipta Kerja) dan PP No. 82 Tahun 2019 tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Ketika manfaat itu terhambat akibat prosedur birokratis atau ketidaksiapan sistem, maka BPJS Ketenagakerjaan telah gagal memenuhi kewajibannya sebagai badan publik. Dalam konteks hukum administrasi negara, hal ini dapat digugat melalui mekanisme sengketa tata usaha negara atau gugatan class action, terlebih jika kerugian dialami oleh ribuan peserta sekaligus.
Tanggung Jawab Negara dan Asas Perlindungan Hukum
Sistem jaminan sosial bukan sekadar skema teknis, tetapi merupakan hak hukum pekerja dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Berdasarkan teori welfare state, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), jaminan sosial adalah alat pemerataan, jaring pengaman, dan pengakuan atas martabat pekerja.
Namun, dalam praktik, negara masih sering membiarkan pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya, menunggak iuran, atau bahkan melakukan pemotongan tanpa menyetorkan ke BPJS. Ketidaktegasan hukum dalam menindak pelanggaran ini menyebabkan impunitas struktural, yang tidak hanya melanggar hukum administrasi dan perdata, tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana korporasi jika memenuhi unsur penipuan atau penggelapan.
Pekerja Informal
Dalam konteks pekerja informal, lebih dari 60% angkatan kerja nasional masih tidak terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, menurut UU SJSN Pasal 14, seluruh penduduk Indonesia berhak dan wajib menjadi peserta jaminan sosial. Ketiadaan regulasi turunan yang operasional dan penegakan hukum yang lemah, telah membuat hak pekerja informal terabaikan.
Jika dibiarkan, hal ini akan menimbulkan diskriminasi struktural—dimana hanya pekerja formal yang mendapatkan hak jaminan sosial, sementara mayoritas lainnya tetap rentan secara hukum. Negara wajib mengatasi kesenjangan ini melalui pendekatan regulatif, pemberian insentif hukum (misal pemotongan pajak bagi koperasi atau UMKM yang mendaftarkan anggotanya), serta memperluas perlindungan melalui peraturan daerah dan Perpres.
Kebocoran Data dan Pelanggaran Hak Privasi
Aspek hukum lain yang krusial adalah perlindungan data pribadi. Dugaan kebocoran data lebih dari 19 juta peserta pada tahun 2024 mencerminkan pelanggaran terhadap UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengendali data wajib menjamin keamanan dan penggunaan data secara sah, proporsional, dan terbatas.
Jika data digunakan secara tidak sah atau jatuh ke pihak yang tidak berwenang, maka BPJS dapat dikenai sanksi administratif dan pidana, dan peserta berhak menuntut ganti rugi. Ini bukan hanya soal keamanan TI, tetapi pelanggaran atas hak hukum peserta sebagai subjek data.
Rekomendasi Reformasi dalam Kerangka Hukum
Untuk memperkuat fungsi hukum jaminan sosial dan posisi pekerja dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan, berikut rekomendasi yang bersifat legal-struktural:
- Amendemen Regulasi dan Penguatan Penegakan Hukum
Perlu adanya revisi atas PP dan Perpres terkait jaminan sosial, termasuk aturan tegas mengenai sanksi terhadap pemberi kerja dan pejabat publik yang lalai. Penegakan harus dilakukan oleh PPNS Ketenagakerjaan dan dapat diperluas ke pengadilan TUN. - Peningkatan Transparansi Dana dan Audit Publik
Dana pekerja adalah dana publik. Pengelolaannya harus tunduk pada prinsip prudensial, transparan, dan akuntabel. Laporan keuangan BPJS harus terbuka bagi peserta dan disertai audit independen oleh BPK. - Perluasan Instrumen Hukum untuk Sektor Informal
Pemerintah perlu mengembangkan Perda atau Keputusan Presiden yang memaksa registrasi kolektif pekerja informal berbasis komunitas. Selain itu, perlu diciptakan mekanisme pendampingan hukum bagi pekerja rentan. - Penguatan Mekanisme Gugatan oleh Peserta
Pemerintah perlu memperkuat akses peserta terhadap mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui lembaga mediasi, ombudsman, maupun pengadilan. Perlindungan hukum tidak cukup hanya bersifat normatif, tetapi juga harus bisa dilaksanakan. - Pendidikan Hukum Ketenagakerjaan dan Sosialisasi Masif
Rendahnya literasi hukum di kalangan pekerja menjadi faktor penghambat. Oleh karena itu, edukasi hukum ketenagakerjaan harus menjadi bagian dari program rutin serikat buruh, kampus hukum, dan LSM.
Wujudkan Jaminan Sosial sebagai Hak Konstitusional
Kegagalan BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya kegagalan manajemen, tetapi juga kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar rakyatnya. Dalam negara hukum (rechtstaat), tidak ada tempat bagi pelayanan publik yang tidak taat asas, tidak akuntabel, dan abai terhadap prinsip perlindungan.
Reformasi menyeluruh harus dilakukan yaitu hukum harus ditegakkan, sistem harus diperbaiki, dan pekerja harus diposisikan sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Tanpa itu semua, cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja hanya akan menjadi narasi kosong di atas kertas hukum.
Leave a Reply