Semarang, Fspkep.id | Di bawah terik matahari pagi yang mulai menyengat, puluhan buruh dari berbagai pabrik di Kota Semarang berkumpul di depan Balai Kota, Kamis (6/11/2025). Dengan wajah-wajah penuh tekad, mereka mengawal aksi Topo Pepe — sebuah bentuk perjuangan damai yang menggabungkan spiritualitas, keteguhan hati, dan perlawanan terhadap ketidakadilan upah.
Aksi ini merupakan lanjutan dari perjuangan panjang kaum buruh Semarang dalam menuntut penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Tahun 2026 yang layak bagi kemanusiaan. Sebelumnya, para buruh telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Kota Semarang, namun hingga kini belum ada kepastian yang mereka harapkan.

Di tengah halaman Balai Kota, suara lantunan doa menggema. Adi Kuncoro, Ketua PUK SP KEP PT Innan Semarang, memimpin pembacaan 700 Surat Al-Fatihah, 700 Sholawat Munjiat, serta 700 kali bacaan Surat At-Taubah ayat 128–129. Dengan penuh khidmat, mereka menundukkan kepala — memohon keridaan Tuhan Yang Maha Kuasa agar perjuangan ini mendapat jalan kemenangan.
“Topo Pepe bukan sekadar diam di bawah panas matahari. Ini adalah simbol keteguhan, bahwa buruh tidak akan menyerah sebelum keadilan ditegakkan,” ujar Adi di sela-sela aksi.
Aksi damai tersebut dikawal oleh rekan-rekan buruh dari KSPI dan Aliansi ABJaT, yang datang memberikan dukungan moril. Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal angka di atas kertas, tetapi soal harga diri dan kelayakan hidup para pekerja.

Menjelang sore, rombongan Kasatpol PP dan Kepala Kesbangpol Kota Semarang datang menemui para buruh. Dialog singkat pun terjadi. Suasana hangat dan penuh rasa saling menghormati menandai pertemuan itu. Sebelum beranjak, mereka berfoto bersama, sebuah simbol kecil dari semangat persaudaraan di tengah perjuangan panjang.
Ketika adzan magrib berkumandang, aksi dihentikan sementara. Para buruh berjanji akan kembali melanjutkan Topo Pepe pada Jumat (7/11/2025) dengan jumlah peserta yang lebih banyak dan semangat yang semakin membara.
Bagi buruh Semarang, perjuangan menuntut upah layak bukan sekadar urusan ekonomi. Ini adalah panggilan nurani, bahwa setiap keringat yang menetes dari tangan-tangan pekerja layak dihargai dengan kehidupan yang bermartabat.[Red]






















Leave a Reply