KETUA UMUM SUNANDAR MENYERAHKAN SURAT PENOLAKAN PP 51 KEPADA MENAKER |
Jakarta| Mediafspkep. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dalam penerapannya telah membuat buruh selalu nombok dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. PP ini lebih buruk dari regulasi pengupahan sebelumnya.
Seluruh elemen buruh di Indonesia melakukan penolakan dengan segala cara termasuk Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi Dan Umum (FSP KEP) bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan penolakan dengan aksi-aksi dan mengirimkan surat kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
“Kami FSP KEP KSPI dengan tegas menolak pp 51 Tahun 2023. Aksi-aksi akan terus kami lakukan. Kami juga secara resmi melakukan penolakan dengan mengirimkan surat kepada Presiden RI yang baru saja dilantik. Surat tersebut kami tembuskan kepada Menteri Ketenagakerjaan yang baru Bapak Prof. Yassierli, S.T., M.T., Ph.D. dan sudah kami serahkan langsung kepada beliau”, ungkap Sunandar Ketua Umum FSP KEP disela-sela acara Perkenalan dan Ramah Tamah Menaker baru dengan Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Ruang Tridharma, Gedung Kemnaker Jl. Gatot Subroto Kav. 51, Setiabudi, Jakarta Selatan (23 Oktober).
“Bapak Yassierli seorang akademisi semoga memahami dan berkenan memperbaiki nasib buruh Indonesia saat ini”. Imbuhnya.
Berdasarkan kajian mendalam terhadap peraturan tersebut, buruh menilai bahwa kebijakan yang diatur dalam PP 51/2023 tidak mencerminkan upaya negara untuk melindungi hak-hak dasar pekerja sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang yang mengatur bidang ketenagakerjaan. Kebijakan ini telah menurunkan daya beli pekerja/buruh dan memperlebar disparitas upah minimum antar daerah.
Adapun dasar penolakan terhadap PP Nomor 51 Tahun 2023 adalah sebagai berikut:
1. Bertentangan dengan Prinsip Konstitusi
Dalam Pasal 27 (2) dan Pasal 28D (2) UUD 1945, negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun demikian, didalam PP 51/2023 telah terjadi pengurangan terhadap hak-hak konstitusional pekerja/buruh untuk hidup secara layak.
PP 51/2023, juga tidak selaras dengan Perlindungan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 9 (1) dan Pasal 20 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang merupakan implentasi dari Pasal 28A dan Pasal 28I (1), dan (4) UUD 1945, yang pada pokoknya menjelaskan Negara, terutama pemerintah bertanggung jawab melindungi dan menegakkan hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak yang merupakan Hak Azasi Manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dengan cara apapun dan Negara harus hadir melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak tersebut.
PP 51/2023 tidak konsisten dan justru mengabaikan elemen-elemen yang melindungi hak-hak pekerja, maka ini bisa dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip HAM yang dijamin dalam UU.
2. Melanggar Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 4 TAP MPR No. III/MPR/2000 dan Pasal 3 serta Pasal 7(2) UU No. 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan mengatur bahwa peraturan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah (PP), tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, PP 51/2023 tidak sejalan dengan Passl 88 (1) UU No. 6 Tahun 2023 dan UU No. 39 Tahun 1999, maka peraturan yang lebih tinggi tersebut haruslah diutamakan.
3. Disparitas Upah Minimum dan Daya Beli yang Tidak Terjaga
Dalam PP 51/2023, variabel seperti konsumsi per kapita dan pertumbuhan ekonomi ditentukan berdasarkan perhitungan yang tidak transparan dan berpotensi memperlebar ketimpangan upah minimum antar provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi ini tidak hanya mengancam daya beli pekerja, tetapi juga dapat memicu ketidakstabilan sosial-ekonomi.
4. PP Nomor 51 Tahun 2023 Tidak Menjawab Masalah Upah Minimum
Pemerintah pernah menyatakan bahwa permasalahan upah minimum adalah soal hidup layak, daya beli, dan disparitas upah. Namun, PP Nomor 51 Tahun 2023 tidak mampu mengatasi ketiga permasalahan ini secara menyeluruh.
Evaluasi kami terhadap penetapan upah minimum tahun 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 6 (enam) provinsi dan sekitar 210 (dua ratus sepuluh) daerah tidak mendapatkan penyesuaian inflasi yang diperlukan, yang berdampak pada penurunan daya beli buruh. Selain itu, disparitas upah minimum pada tahun 2024 meningkat dibandingkan tahun 2023.
5. Dasar Hukum PP51/2023 Sedang Digugat Buruh
Sejak awal, PP 51/2023 ditolak oleh seluruh serikat buruh, termasuk KSPI. Terlebih dasar hukum dari PP 51/2023 tersebut adalah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini sedang digugat melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh KSPI dan berbagai serikat buruh yang lain . Sampai saat ini, belum ada keputusan dari MK, sehingga pemerintah seharusnya tidak menggunakan PP 51/2023 dalam perhitungan upah minimum tahun 2025. [Zai]