International Women’s Day Perjuangan Perempuan Kelas Pekerja Melawan Eksploitasi dan Penindasan

Jakarta – Fspkep.id | Setiap 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day)—hari yang lahir dari perjuangan perempuan kelas pekerja melawan eksploitasi dan penindasan. Ini bukan sekadar perayaan, tetapi momentum untuk menegaskan bahwa kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sosial hanya mungkin terwujud melalui perjuangan kolektif perempuan. Sebab hanya dengan menghancurkan sistem yang menindas, perempuan dapat membebaskan dirinya, tempat kerja, dan lingkungannya dari jerat eksploitasi.

Namun, perempuan kelas pekerja di Indonesia masih berada dalam cengkeraman kapitalisme global, krisis iklim, dan ketidakadilan struktural yang dilegitimasi negara—baik di tempat kerja maupun dalam ruang domestik. Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi perempuan sebagai buruh upahan dan merusak alam demi akumulasi keuntungan, tetapi juga mengabaikan biaya reproduksi sosial yang menopang ekonomi itu sendiri. Tubuh perempuan diperas hingga sakit, sementara sumber daya alam dijarah tanpa pertanggungjawaban. Racun dari perkebunan, pabrik, dan limbah industri mencemari tanah, air, dan udara—merusak ruang hidup sekaligus merampas masa depan anak-anak.

Di tengah situasi ini, hukum ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi alat perlindungan justru masih jauh dari kebutuhan perempuan kelas pekerja. Negara memberi karpet merah bagi industri ekstraktif yang menjarah alam, tetapi membiarkan buruh perempuan dibayar murah dalam relasi kerja rentan. Berbagai kebutuhan dasar buruh perempuan pun belum sepenuhnya diakomodasi, seperti upah layak, jaminan sosial tanpa syarat, cuti haid, cuti melahirkan, perlindungan dari pelecehan seksual, serta pengakuan dan dukungan fasilitasi atas kerja-kerja reproduktif. Terlebih dalam rezim fleksibilitas kerja, buruh pekerja semakin rentan terkena pemutusan hubungan kerja atas nama “efisiensi.”

Sementara dalam Prolegnas Prioritas 2025, ada rencana pembahasan hukum yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan diantaranya revisi Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Revisi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Rencana Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang mayoritas juga berkaitan dengan pekerja perempuan.

Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan: Bagaimana perempuan pekerja membayangkan relasinya dengan alam? Hukum ketenagakerjaan seperti apa yang mereka butuhkan untuk memastikan keadilan bagi perempuan dan lingkungan?
Apakah regulasi yang ada sudah cukup melindungi, atau justru semakin melanggengkan eksploitasi?

Bagaimana perempuan pekerja dapat terlibat dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan?
Dengan semangat “Women Workers, Unite!”,kita dapat merumuskan tuntutan konkret yang dapat diperjuangkan dalam gerakan buruh dan gerakan perempuan menuju strategi bersama dalam memperjuangkan hukum ketenagakerjaan yang lebih adil dan berpihak pada perempuan kelas pekerja. [Red]

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *