Siaran Pers Partai Buruh Seminar kebangsaan, “REDESAIN SISTEM PEMILU PASCAPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI”

Oleh Said Salahudin – Wakil Presiden Partai Buruh Urusan Kepemiluan dan Polhukam

Pada hari ini, Kamis, 31 Juli 2025, bertempat di The Tavia Heritage Hotel, Jakarta, Partai Buruh menyelenggarakan Seminar Kebangsaan bertema “Redesain Sistem Pemilu Pascaputusan Mahkamah Konstitusi”. Acara ini digelar Partai Buruh dalam rangka menghimpun gagasan mengenai rancang bangun Pemilu 2029 dari berbagai elemen masyarakat, para tokoh nasional, pakar hukum, LSM, organisasi mahasiswa, dan partai politik.

Hadir sebagai narasumber seminar: Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi pertama periode 2003-2008; Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI; M. Afifuddin, Ketua KPU RI; dan Said Salahudin, Wakil Presiden Partai Buruh. Sejumlah Penanggap dari kalangan akademisi dan partai politik lain juga turut memberikan masukan.

Partai Buruh menilai, rancangan ulang sistem Pemilu perlu segera dirumuskan untuk menjadi bahan masukan bagi Pembentuk Undang-Undang dalam agenda revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Hak Publik

Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pengaturan sistem Pemilu sudah barang tentu tidak boleh hanya ditentukan sepihak oleh lembaga DPR. Partai politik nonparlemen, akademisi, mahasiswa, dan kelompok masyakarat sipil lainnya juga wajib diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menyampaikan gagasannya sebagai manifestasi dari adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Dalam agenda revisi UU Pemilu pascaterbitnya sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi, terdapat kewajiban bagi DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, untuk memastikan terpenuhinya tiga hak konstitusional bagi parpol nonparlemen dan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Pertama, right to be heard, yaitu hak dari kelompok diluar parlemen untuk menyampaikan pendapat, masukan, dan aspirasi mengenai ide-ide perubahan UU Pemilu. Kedua, right to be considered. Artinya, pendapat, masukan, dan aspirasi yang disampaikan tersebut harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh DPR. Ketiga, right to be explained. DPR wajib menjelaskan secara logis mengenai sejauh mana pendapat, masukan, dan aspirasi yang telah. disampaikan tersebut telah benar-benar dipertimbangkan.

Isu Pertama Revisi

Bagi Partai Buruh, sedikitnya ada enam isu penting yang perlu dibuat pengaturan baru dalam materi revisi UU Pemilu. Pertama, Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal wajib dipisahkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan perintah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor135/PUU-XXII/2024, yaitu Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hanya boleh digelar secara serentak dua tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI secara serentak pada tahun 2029. Terkait isu ini, Partai Buruh dengan tegas akan menolak segala bentuk deviasi atau rekayasa aturan, kecuali pengaturan sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Isu Kedua

Isu penting yang kedua adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tidak boleh diatur lain, kecuali harus dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan sedikitnya tiga Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu; (i) Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menetapkan pilkada sebagai salah satu jenis pemilihan langsung yang dapat diserentakkan pelaksanaannya dengan Pemilu; (ii) Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menentukan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat; dan (iii) Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menentukan pilkada yang dipilih secara langsung oleh rakyat dilaksanakan penyelenggaraannya secara serentak dengan Pemilu Anggota DPRD.

Terhadap isu ini, Partai Buruh menolak segala bentuk upaya untuk mengembalikan sistem Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dengan menggunakan mekanisme indirect election atau pemilihan melalui DPRD, seperti yang pernah dilakukan di masa lalu.

Isu Ketiga

Isu penting yang ketiga dalam revisi UU Pemilu adalah mengenai penghapusan aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, berdasarkan Putusan Mahkamah. Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024. Perintah MK dalam putusan tersebut sudah sangat jelas, yaitu partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu, baik sendiri-sendiri atau dengan cara berkoalisi dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres di Pemilu 2029 tanpa dikenakan syarat ambang batas pencalonan. Perintah MK ini bagi Partai Buruh mutlak harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi dengan cara apapun.

Isu Keempat

Isu penting keempat adalah mengenai aturan ambang batas penentuan kursi DPR atau Parliamentary Threshold (PT) yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023, telah diperintahkan MK agar besarannya diturunkan dibawah angka 4% dari total suara sah secara nasional. Terkait isu ini, pada tanggal 28 Juli 2025 lalu, Partai Buruh telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta MK agar menghapus aturan parliamentary threshold menjadi 0% dari total suara sah nasional. Tetapi apabila PT tetap dinyatakan konstitusional, maka Partai Buruh memohon kepada MK agar parliamentary threshold diberlakukan dengan tidak lagi mendasari pada perhitungan suara sah nasional, melainkan dihitung dengan berbasis pada perolehan suara di tiap daerah pemilihan. Menurut Partai Buruh, PT 4% terbilang wajar untuk diberlakukan di tiap dapil.

Isu Kelima

Isu yang kelima adalah mengenai pengaturan verifikasi parpol calon peserta Pemilu 2029 yang dalam pandangan Partai Buruh harus ditetapkan secara langsung oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, aturan verifikasi selama ini tidak diatur secara tegas dalam UU Pemilu. Dalam UU 7/2017, pengaturan mengenai verifikasi parpol hanya diatur secara umum dalam Pasal 173 dan terkait teknis pelaksanaannya dalam Pasal 174 Pembentuk Undang-Undang menyerahkan kepada KPU untuk mengaturnya tanpa disertai rambu hukum yang jelas.

Akibat dari ketidakjelasan model dan teknis verifikasi yang diatur dalam UU Pemilu, KPU menentukan verifikasi dengan model berjenjang, yaitu diawali dengan keharusan bagi parpol untuk terlebih dahulu melengkapi Sistem informasi partai politik (Sipol), dilanjutkan dengan proses verifikasi administrasi (vermin), dan diakhiri dengan proses verifikasi faktual (verfak). Tahapan yang diatur dengan cara demikian, pada gilirannya selalu menimbulkan permasalahan hukum yang serius di setiap kali pelaksanaan pemilu. Ada parpol yang dinyatakan gugur di fase awal Sipol, ada yang dicoret di tahapan vermin, dan ada pula yang dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pemilu akibat dianggap gagal melalui tahapan verfak. Permasalahan tersebut pada ujungnya memunculkan gejolak politik dan aksi saling gugat diantara parpol dan penyelenggara Pemilu.

Oleh sebab itu, untuk pelaksanaan Pemilu 2029 dan seterusnya Partai Buruh menilai aturan verifikasi parpol ke depan harus dipertegas model dan teknis pelaksanaannya. Sebab, verifikasi pada dasarnya merupakan instrumen hukum untuk membatasi hak asasi warga negara yang berhimpun di sebuah partai politk. Merujuk Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan terhadap hak asasi hanya dapat diatur dalam materi undang-undang, dan tidak boleh ditentukan dalam aturan selevel Peraturan KPU (PKPU).

Tetapi dengan menyadari bahwa DPR berisi orang-orang parpol yang mempunyai kepentingan politik dalam proses verifikasi, maka menurut Partai Buruh akan lebih adil jika rambu-rambu pelaksanaan verifikasi parpol ditetapkan secara langsung oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait hal ini, dalam waktu dekat Partai Buruh akan kembali menguji aturan verifikasi parpol yang diatur dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Isu Keenam

Isu yang keenam yang dinilai penting oleh Partai Buruh adalah terkait pengaturan syarat pencalonan dalam pilkada. Oleh karena pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota menurut Mahkamah Konstitusi harus dipilih secara langsung oleh rakyat (direct election), maka dengan mencermati perkembangan hukum pemilu pascasejumlah putusan MK, Partai Buruh berpandangan perlu adanya pengaturan baru mengenai syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dengan meninjau kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Dalam Putusan Mahkamah yang diputus berdasarkan permohonan Partai Buruh tersebut, masih ditentukan adanya syarat ambang batas pencalonan kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik. Padahal, dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah telah menetapkan bahwa pelaksanaan pilkada harus diserentakkan waktunya dengan pelaksanaan Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengan demikian, pada tahap pencalonan kepala daerah pasca2029 nantinya, besaran suara yang diperoleh partai politik pada Pemilu Anggota DPRD belum bisa diketahui. Sehingga, menjadi tidak logis jika pencalonan kepala daerah masih mempersyaratkan adanya aturan ambang batas.

Oleh sebab itu, Partai Buruh berpendapat pencalonan kepala daerah pasca2029 tidak perlu lagi menetapkan aturan ambang batas suara parpol hasil Pemilu Anggota DPRD. Semua partai politik peserta Pemilu 2029 harus dinyatakan berhak mencalonkan kepala daerah, baik dengan cara sendiri-sendiri atau dengan cara berkoalisi. Jika untuk mengusulkan Presiden dan Wakil Presiden saja MK menyatakan tidak diperlukan syarat ambang batas pencalonan, maka menurut penalaran yang wajar dalam pengusulan calon kepala daerah pun tidak diperlukan adanya syarat ambang batas pencalonan. Untuk memperoleh jaminan atas pemberlakuan aturan tersebut, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi Partai Buruh akan kembali menguji aturan pencalonan pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Rekomendasi

Sebagai kesimpulan dari Seminar Kebangsaan ini Partai Buruh merekomendasikan agar sekalipun DPR dan Presiden berwenang membentuk UU Pemilu, tetapi terhadap pengaturan pemilu yang materi muatannya berkelindan dengan kepentingan partai-partai politik di DPR, sebaiknya substansi mengenai aturan-aturan dimaksud ditetapkan berdasarkan Putusan MK agar lebih adil dan berkepastian hukum.

Oleh sebab itu, untuk memastikan demokrasi di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan rel konstitusi, Partai Buruh akan menggunakan hak konstitusionalnya untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat dalam Pemilu dengan menggunakan instrumen hukum pengujian undang-undang ke lembaga Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga kekuasaan. kehakiman yang berwenang memberikan tafsir final konstitusi.

Said Salahudin,

Wakil Presiden Partai Buruh
Urusan Kepemiluan dan Polhukam

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *