Bersama Isa Trisnowati.S.E Wakil Ketua Bidang Perempuan DPC FSPKEP Kabupaten Sidoarjo Edisi : Kamis 16 Januari 2025
Buruh adalah bagian dari penggerak ekonomi negara, keberadaannya berkontribusi sebagai penyumbang pajak negara, memperlancar laju industri sehingga bukan hanya ekonomi negara yang berputar, ekonomi perusahaan pun melaju sehingga pemilik modal memperoleh untung berlipat-lipat.
Keberadaan Perempuan didalam bagian dari Klass Buruh selain sebagai penggerak ekonomi, Buruh Perempuan juga masih berada dalam pusaran aktivitas domestik di rumah tangga. Buruh perempuan masih diposisikan sebagai pihak yang lebih banyak melakukan kerja domestik, kerja perawatan, dan pengasuhan karena budaya patriarki masih lekat di negara kita. Sehingga meskipun mereka berada di lingkungan perusahaan sekitar 8-12 jam sehari, saat mereka kembali ke rumah mereka juga yang lebih sering melakukan aktivitas mencuci, memasak, mengasuh anak/lansia, merapikan rumah dan lain-lain. Sederet kerja domestik tersebut oleh pemerintah kita “dianggap” bukan kerja sehingga tidak ada nilai ekonomis. Padahal ada banyak kerja yang mengubah nilai dari kotor menjadi bersih, dari berantakan menjadi rapi, dari sakit menjadi sehat, dari anak kecil tumbuh menjadi dewasa (tenaga produktif) dan seterusnya dan seterusnya. Kondisi ini sering disebut bahwa perempuan mengalami beban ganda, yaitu tertindas di perusahaan dan tertindas dalam area domestik.
Dalam hubungan industrial sendiri, Buruh Perempuan juga lebih banyak terserap dalam industri padat karya seperti garmen, tekstil, dan alas kaki yang membutuhkan ketelatenan.
Hingga saat ini, sekali lagi buruh perempuan “dianggap” lebih telaten, detail, penurut, bersedia diupah murah, bahkan tidak akan melakukan perlawanan jika hak-haknya dirampas. Ini merupakan stigma (pelabelan) yang juga didukung oleh budaya masyarakat bahwa karakter perempuan yang baik adalah yang santun, lembut, dan penurut karena perempuan bukanlah pencari nafkah utama dalam keluarga. Stigma-stigma itu juga menggema dalam keluarga, dipopulerkan oleh tokoh-tokoh agama, bahkan negara dan pengusaha menjaga dan “merawat” agar stigma itu tetap ada agar tetap ada kerja-kerja reproduksi sosial tanpa upah.
Isa Trisnowati aktivis Buruh yang juga sebagai pengurus Serikat Pekerja di FSP KEP-KSPI kabupaten Sidoarjo yang juga selalu aktif sebagai penggiat gerakan Buruh Perempuan saat ditemui jurnalis Media fspkep.id pada Kamis, (16/01/2025) di kantor sekretariat DPC FSP KEP-KSPI kabupaten Sidoarjo memaparkan pandangan-pandanganya akan fenomena yang acap kali terjadi dilapangan dan juga stikma-stikma negatif terhadap Buruh Perempuan yang kebanyakan dilontarkan masyarakat umum.
“Pasca pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Puruh Perempuan pun terdampak regulasi yang makin melegalkan tenaga kerja informal. Hampir nyaris tidak ada kepastian kerja dalam hubungan kerja, upah, jam kerja, tempat kerja, pun juga jaminan sosial. Kondisi ini berdampak pada tingkat kesejahteraan buruh dan keluarga menurun disertai daya beli yang merosot. Buruh perempuan juga makin sulit mengakses hak-hak maternitasnya seperti hak atas cuti haid, cuti keguguran, cuti melahirkan, dan ruang laktasi karena ketidakpastian hubungan kerja mengkondisikan buruh perempuan dalam posisi makin rentan dalam melakukan negosiasi. Sementara itu, kebebasan berserikat sebagai salah satu upaya menaikkan posisi tawar buruh juga terdegradasi dengan Undang-Undang Cipta Kerja.” Kata Isa Trisnowati
“Bagi sebagian besar Buruh Perempuan, berserikat adalah upaya untuk belajar dan berjuang secara kolektif. Dengan berserikat, Buruh Perempuan bisa mempelajari nilai-nilai kesetaraan dalam memperjuangkan hak-hak di tempat kerja, di Serikat, maupun dalam hal advokasi kebijakan. Namun, hubungan kerja kadang sering kali “Memaksa” Buruh Perempuan untuk menentukan pilihan mencari kerja tambahan di luar bekerja di Perusahaan, sehingga berdampak pada berkurangnya waktu untuk berserikat dan berorganisasi.” Pungkas Isa Trisnowati.
Fenomena kondisi Buruh Perempuan yang demikian mendorong Serikat Buruh untuk berfikir keras membuat sebuah inovasi gerakan dalam rangka melancarkan dan menyelaraskan program-program kerja untuk menyentuh keberadaan Perempuan didalam Organisasi Serikat Pekerja. (Afn)
Leave a Reply