FSPKEP Rebut Ruang Lawan Eksklusi di Era Disrupsi

Oleh : Ridwan – Pimpinan Redaksi Fspkep.id

Jakarta, Fspkep.id | Masa depan buruh Indonesia tidak sedang menunggu untuk dibentuk oleh dinamika ekonomi global, melainkan sedang dipertaruhkan oleh arah kebijakan nasional yang semakin cenderung pro-pasar dan mengabaikan aspek keadilan sosial.

Kita menyaksikan bagaimana revolusi industri 4.0, yang semestinya menjadi kesempatan bagi peningkatan kesejahteraan pekerja melalui efisiensi dan inovasi, justru berbalik menjadi alat eksklusi sosial bagi jutaan buruh yang tidak memiliki akses pada pendidikan teknologi dan keterampilan digital.

Laporan World Economic Forum (2024) mencatat bahwa 44% keterampilan saat ini akan menjadi usang dalam 5 tahun ke depan, dan ironisnya, sebagian besar buruh di Indonesia masih bergelut dengan keterampilan dasar.

Dalam kondisi seperti ini, narasi “bonus demografi” bisa berubah menjadi bencana demografi jika buruh hanya dijadikan objek produksi, bukan subjek pembangunan.‎‎ Bukan hanya soal teknologi, persoalan struktural ketenagakerjaan juga memperburuk situasi.

Regulasi yang lahir pasca disahkannya UU Cipta Kerja justru melegitimasi praktik hubungan kerja yang fleksibel secara ekstrem seperti outsourcing tanpa batas dan kontrak jangka pendek yang terus diperpanjang yang merampas rasa aman buruh untuk membangun masa depan.

Fenomena “pekerja tanpa kepastian” (precariat) menjadi nyata di pabrik-pabrik besar dan kawasan industri strategis. Serikat buruh kerap diposisikan sebagai pengganggu ketertiban industri, padahal justru mereka adalah benteng terakhir perlindungan pekerja.

Sementara itu, kehadiran teknologi seperti AI dan robotika sudah mulai menggantikan posisi operator, administrasi, bahkan bagian logistik, dan hal ini bukan lagi wacana masa depan itu sedang terjadi sekarang. Pertanyaannya, apakah negara hadir sebagai pelindung atau justru fasilitator dari liberalisasi pasar tenaga kerja?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa hampir 60% pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, dengan akses minim terhadap jaminan sosial dan pelatihan kerja. Ini menunjukkan kegagalan kebijakan dalam menciptakan sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan berkeadilan.

Program reskilling yang sering digembar-gemborkan juga terbukti belum menyentuh akar persoalan minimnya akses pendidikan vokasi yang merata dan terintegrasi dengan kebutuhan industri masa depan. Bahkan banyak pelatihan yang sifatnya seremonial, jauh dari praktik dunia kerja yang sebenarnya.‎‎

Dalam konteks ini, masa depan buruh bukan sekadar soal mempertahankan hak normatif, tetapi bagaimana membangun kekuatan politik, intelektual, dan solidaritas antar-sektor.

Serikat buruh harus naik kelas dari sekadar pejuang upah menjadi penentu arah kebijakan ketenagakerjaan. Kita butuh serikat yang mampu membangun pusat-pusat pelatihan sendiri, mendorong dialog industri yang setara, dan berani menggugat kebijakan yang mengorbankan buruh demi investasi semu. Jika tidak, maka buruh akan terus menjadi tumbal pembangunan yang tidak mereka nikmati.

Saatnya buruh tidak hanya menuntut keadilan, tetapi ikut mendesain masa depan. Rebut ruang, lawan eksklusi itulah panggilan sejarah bagi gerakan buruh hari ini. [Tbg]

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *