Tim Kecil FSP KEP Susun Bahan Strategis Kenaikan Upah Tahun 2026, ABJaT: Fokus Pada Data, Fakta, dan Kepentingan Buruh

Semarang, Fspkep.id | Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (FSP KEP) Kota Semarang tengah mengintensifkan kerja tim kecil internal untuk menyusun bahan masukan strategis dalam perjuangan kenaikan upah minimum tahun 2026 melalui Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJaT). Tim ini bekerja merumuskan argumen berbasis data dan kondisi objektif yang akan menjadi dasar perjuangan buruh dalam penetapan UMP, UMK, dan UMS di Jawa Tengah.

“Kami tidak ingin perjuangan upah hanya jadi rutinitas tahunan. Tim ini mengolah data ekonomi, inflasi, hingga beban hidup buruh untuk memastikan perjuangan ini punya legitimasi ilmiah dan moral,” ujar Ahmad Zainudin, perwakilan tim penyusun FSP KEP, Jumat (23/5).

Tim kecil ini antara lain merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat inflasi tahunan Provinsi Jawa Tengah per Desember 2023 mencapai 3,11 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2023 sebesar 5,11 persen, lebih tinggi dibanding capaian nasional yang berada di angka 5,05 persen (BPS, Februari 2024).

Dari sisi investasi, data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Tengah menunjukkan realisasi investasi mencapai Rp61,03 triliun sepanjang 2023, meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp56,27 triliun.

“Angka-angka ini menegaskan bahwa ekonomi Jawa Tengah tumbuh, inflasi terkendali, dan investor tetap menanamkan modalnya. Tidak ada alasan logis untuk menahan kenaikan upah buruh,” tambahnya.

Namun demikian, FSP KEP menyoroti bahwa kenaikan upah minimum selama ini tidak mampu menutup laju inflasi secara riil, apalagi menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup buruh di perkotaan seperti Kota Semarang.

“UMK Kota Semarang tahun 2024 sebesar Rp3.243.969 hanya naik sekitar 4,02 persen dari tahun sebelumnya, padahal biaya kontrakan, transportasi, dan sembako terus naik,” ujarnya lagi.

Tim kecil ini juga memasukkan kajian mengenai invisible cost atau biaya siluman yang selama ini menjadi penyebab utama ekonomi biaya tinggi. Berdasarkan laporan KADIN dan KPK (2023), biaya informal semacam pungli dan birokrasi non-transparan menyumbang 20–30 persen dari biaya produksi perusahaan, jauh lebih besar dibanding porsi biaya buruh yang hanya sekitar 10–12 persen.

“Jadi jelas, beban utama bukan dari buruh, melainkan sistem ekonomi yang korup dan tidak efisien,” tegasnya.

FSP KEP menargetkan penyusunan bahan akan rampung awal Juni 2025 dan segera diserahkan kepada ABJaT sebagai kontribusi organisasi dalam mendorong kebijakan pengupahan yang lebih adil dan manusiawi.

“Ini bentuk tanggung jawab kita. Jangan biarkan buruh hanya jadi penonton ketika upahnya ditentukan,” pungkasnya.

Serikat pekerja dan pegiat buruh yang tergabung dalam ABJaT, lanjut Zainudin, saat ini juga sedang berproses sama seperti tim kecil ini. Harapannya pertengahan Juni tahun ini sudah menjadi materi final untuk diserahkan kepada Gubernur Jawa Tengah. (Win)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *