Oleh: Sunandar, SH | Ketua Umum DPP FSPKEP Indonesia
Jakarta, fspkep.id | Hari Lingkungan Hidup Sedunia bukan sekadar simbol global dari kekhawatiran terhadap perubahan iklim. Bagi kami kaum buruh yang bekerja di sektor kimia, energi, pertambangan, Minyak, Gas dan Umum, hari ini adalah peringatan keras bahwa tanpa perlindungan lingkungan yang kuat, keselamatan kerja dan masa depan generasi pekerja ikut terancam.
Buruh Jadi Korban Pertama Krisis Ekologis
Lingkungan kerja yang tercemar bukan hanya merusak alam, tapi juga menggerus hak hidup sehat para pekerja. Studi dari International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa lebih dari 2,4 juta kematian per tahun terjadi akibat penyakit dan kecelakaan kerja, dan sekitar 20% di antaranya terkait dengan paparan zat berbahaya di tempat kerja termasuk logam berat, bahan kimia industri, dan debu tambang.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 melaporkan bahwa lebih dari 4,1 juta pekerja bekerja di sektor industri kimia, energi, dan pertambangan. Sebagian besar mereka bekerja dalam kondisi minim pengawasan terhadap standar keselamatan dan kelestarian lingkungan.
KLHK melaporkan bahwa pada tahun 2023, terdapat lebih dari 2.300 kasus pencemaran limbah B3 yang berasal dari industri berat. Lebih buruk lagi, hanya sekitar 28% dari perusahaan yang menjalankan sistem pengelolaan limbah sesuai standar AMDAL.
Air Tercemar, Udara Kotor, Tanah Beracun
Penelitian Universitas Indonesia menunjukkan bahwa emisi partikulat (PM2.5) dari sektor industri menyumbang 31,4% dari total polusi udara Jabodetabek. Hal ini berdampak langsung pada peningkatan kasus penyakit pernapasan, termasuk bronkitis kronis dan asma yang banyak dialami buruh pabrik.
Laporan WALHI dan ITB tahun 2023 mengungkapkan bahwa limbah cair dari sektor pertambangan telah mencemari lebih dari 47 sungai di Indonesia, dan menyebabkan penurunan kualitas air tanah hingga 80% di area sekitar tambang.
Bahkan di beberapa wilayah seperti Kalimantan Timur dan Riau, penelitian BRIN menunjukkan bahwa kadar merkuri, arsenik, dan timbal dalam air tanah di dekat wilayah tambang mencapai 5–10 kali lipat dari batas aman WHO. Ini bukan hanya membunuh perlahan, tetapi juga merusak ekosistem pangan yang menopang keluarga pekerja.
Just Transition: Transisi Energi yang Tidak Meninggalkan Buruh
Kita tidak menolak industrialisasi, apalagi transisi energi ke arah energi terbarukan. Tapi yang kami tolak adalah transisi yang mengorbankan nasib buruh. Transisi energi yang adil (Just Transition) harus menjadi kerangka dasar kebijakan pemerintah, agar buruh tidak sekadar jadi korban PHK atau dislokasi kerja akibat peralihan industri.
Menurut Energy Watch Indonesia (2024), sebanyak 650 ribu pekerja di sektor energi fosil berpotensi kehilangan pekerjaan dalam 10 tahun ke depan. Namun hingga kini, tidak ada peta jalan nasional yang jelas tentang bagaimana buruh akan didampingi, dilatih ulang, dan dilibatkan dalam industri energi bersih.
Langkah FSPKEP: Dari Konsolidasi ke Aksi Nyata
Kami di FSPKEP tidak tinggal diam. Kami sedang menyiapkan program nasional bertajuk “Buruh Peduli Bumi”, yang akan memuat:
- Pelatihan lingkungan hidup dan kesehatan kerja di tingkat basis.
- pendampingan hukum dan advokasi AMDAL terhadap proyek-proyek industri yang merugikan lingkungan dan buruh.
- Kampanye nasional tentang transisi energi yang adil, bekerja sama dengan organisasi lingkungan dan akademisi.
Kami percaya bahwa buruh bukan penghalang pembangunan, melainkan penjaga terakhir keberlanjutan.
Hak atas Lingkungan Sehat adalah Hak Pekerja
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini harus menjadi momentum kebangkitan kesadaran ekologis di kalangan pekerja dan serikat buruh. Keadilan ekologis adalah bagian dari perjuangan kelas. Kita tidak hanya memperjuangkan upah dan jaminan kerja, tapi juga hak atas air bersih, udara segar, dan tanah yang subur. Karena jika bumi rusak, maka tidak ada pabrik, tambang, atau sistem upah yang akan bertahan.
Baca juga :
Leave a Reply