Kajian Upah Sektoral, BRIDA Kota Semarang Gelar FGD Dengan Stakeholder

Semarang, Fspkep.id | Bertempat di hotel Grasia kota Semarang BRIDA ( Badan Riset Daerah ) kota Semarang menggelar Focus Discusion Grup (FGD) dengan tema Kajian Implementasi Kebijakan Upah Minimum Sektoral, Kamis (25/9). Dibuka oleh kepala Dinas Tenaga Kerja kota Semarang, Sutrisno menyampaikan terima kash kepada para pihak yang hadir dalam acara tersebut. Disebutkan, dengan adanya FGD diharapkan bisa menjadi kajian kesepahaman, sehingga tidak terjadi selisih pendapat yang terlalu bertentangan. Tidak perlu demo, tidak perlu banyak pertentangan, karena hasil FGD ini bukan hasil akhir, tetapi menjadi pendukung untuk dewan pengupahan dalam merumuskan upah untuk tahun 2026.

Senada dengan Kadisnaker dalam sambutan pembukaan, Bagus Irawan Ketua BRIDA kota Semarang menyampaikan kami sudah melakukan riset mulai berbagai aspek yang ada di kota Semarang, baik secara ekonomi, demografi dan lainnya bebasis data, nanti silahkan para pihak, baik buruh, apindo dan lembaga lainnya melakukan diskusi, tetapi satu hal yang perlu dipahami, hasil diskusi bukan merupakan hasil final, tetapi kajian data pendukung yang bisa digunakan oleh dewan pengupahan dalam merumuskan upah tahun depan.

Sementara itu dalam paparannya BRIDA menyampaikan kajian–kajian tentang implementasi upah sektoral berbasis data, seperti pemetaan besar kecilnya sektor usaha, karakteristik kerja, dan juga berdasarkan resiko kerja. Brida juga melakukan sampling dengan beberapa responden baik kepada pengusaha dan pekerja. Namun karena keterbatasan waktu sampling tersebut tidak mewakili sepenuhnya pendapat baik dari pengusaha maupun pekerja.

FGD UMSK kota Semarang bersama Brida ( Badan Riset Daerah)

Pada sesi acara diskusi, Ibu Ari dari Apindo menyatakan keberatan dengan adanya upah sektoral. Jangan sampai karena diberlakukannya upah sektoral membuat minat investor menjadi berkurang, atau malah investor yang sudah ada di kota Semarang malah hengkang dari kota Semarang. Intinya upah sektoral memberatkan pengusaha. Senada dengan rekannya Dedy Supriyadi dari Apindo, pemberlakuan perlu di kaji ulang dengan mmpertimbangkan ekonomi makro dan berbasis data. Menanggapi hal tersebut BRIDA mengatakan bahwa pertimbangan skala ekonomi makro dan mikro tentu berbasis data, bukan perkiraan, sementara tentang keberadaan upah sektoral itu sendiri adalah pelaksanaan dari putusan MK Nomor 168/PUU/XXII/2024 dan juga pelaksanaan dari permen Nomor 16 Tahun 2024.

Menanggapi apindo, Sumartono dari aliansi Buruh Jawa Tengah menyatakan, “Apindo harus paham akan upah sektoral sebagai pelaksanaan dari aturan yang berlaku, dan itu sudah melalui kajian mendalam.jangan merasa lebih pengusaha dari pengusaha itu sendiri. Contoh kasus pelaksanaan UMSK di kabupaten Jepara, pengusaha tidak keberatan, bahkan upah sudah berjalan, tetapi karena desakan kelompok tertentu akhirnya Gubernur merevisi besaran upah sektoral tersebut”.

Panji rekan sesama dari Aliansi Buruh Jawa Tengah Presidium Kota Semarang menambahkan, “kalau UMSK menjadikan investor takut untuk datang ke Kota Semarang, bisa di cek data, nilai investasi Kota Semarang, jumlahnya lebih rendah dari Kota Surabaya, lebih rendah dari Jakarta, lebih rendah dari Jawa Barat, dimana mereka upahnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upah Kota Semarang.

“Apapun juga meskipun itu namanya upah sektoral tetap pada batasan minimum. Itupun nanti masih ada potongan jaminan sosial dan lainya. Tidak seperti PNS atau ASN yang banyak macam tunjangannya, anak juga ada tunjangannnya sendiri. Sedangkan upah minimum itu yang semestinya di gunakan untuk pekerja masa kerja kurang satu tahun dan lajang, tetapi pelaksanaan pada umumnya pada seluruh pekerja diberlakukan demikian. Parahnya lagi upah itu untuk membiayai seluruh keluarga. Jadi harapan kita ada upah layak yang berkeadilan juga masih jauh”. Tegas
Tegas Karmanto dari Aliansi Buruh Jawa Tengah Presidium Provinsi Jawa Tengah.

Diakhir diskusi pendapat dari Biro Hukum Pemerintah Kota Semarang, Rama menjelaskan bahwa dari amanat putusan MK Nomor 168/PUU/XXII/2024 bahwa upah sektoral itu wajib ada. Yang kemarin sudah berjalan selanjutnya tetap harus ada, kalau di tahun kemarin Wali Kota melakukan diskresi untuk upah sektoral karena keterbatasan waktu. Untuk tahun ini harapannya lebih baik karena sudah melalui kajian–kajian lebih mendalam meskipun hasilnya belum final. Setidaknya sebagai bahan rekomendasi untuk Dewan Pengupahan sangat baik. Lebih banyak lagi yang menerapkan upah sektoral.

Hadir dalam acara tersebut antara lain:

  1. Asisten Pemerintahan, Setda Kota Semarang
  2. Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, Setda Kota Semarang
  3. Kepala Badan Pusat Statistik Kota Semarang
  4. Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah Kota Semarang
  5. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang
  6. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang
  7. Kepala Dinas Perindustrian Kota Semarang
  8. Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu
  9. Kepala Bagian Hukum, Setda Kota Semarang
  10. Tim Peneliti Solusi Agape
  11. Ketua/ Pengurus Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJAT)
  12. Ketua/ Pengurus Federasi Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Kota Semarang
  13. Ketua/ Pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kota Semarang
  14. Ketua/ Pengurus DPK Asosiasi Pengusaha Indonesia Kota Semarang
  15. Ketua/ Pengurus Kamar Dagang dan Industri Kota Semarang
  16. Ketua/ Pengurus Gabungan pelaksanan Konstruksi Nasional Indonesia Kota Semarang
  17. Ketua/ Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
  18. Akademisi Universitas Diponegoro

Harapanya ada forum diskusi lanjutan agar bisa memberikan kajian lebih teknis dan spesifik. (win)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *