Memahami makna uang pesangon. apa itu?
Uang pesangon adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja sebagai kompensasi saat hubungan kerja berakhir (PHK).
Tujuan dari pesangon adalah memberikan perlindungan ekonomi sementara bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Dasar Hukum:
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (mengubah UU No. 13 Tahun 2003) menyebutkan bahwa pekerja yang di-PHK berhak atas:
- Uang pesangon,
- Uang penghargaan masa kerja (UPMK),
- Uang penggantian hak (UPH).
Besarannya:
- Dihitung berdasarkan masa kerja dan alasan PHK (misalnya efisiensi, pelanggaran, pensiun, dll).
- Contoh: masa kerja 3 tahun → berhak atas 2 bulan upah sebagai uang pesangon.
Pesangon ini dibayarkan sekali, bukan rutin seperti gaji.
Sejarah adanya uang pesangon
Sejarah uang pesangon di Indonesia berakar dari semangat perlindungan terhadap pekerja yang mulai berkembang sejak era kolonial dan semakin diperkuat pasca-kemerdekaan.
- Masa Kolonial Belanda
Pada masa Hindia Belanda, hubungan kerja sangat berpihak kepada pengusaha. Tidak ada konsep “pesangon”; buruh diberhentikan tanpa jaminan apa pun.
- Awal Kemerdekaan (1945–1960-an)
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai menyusun regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil. Ide pesangon muncul sebagai bentuk tanggung jawab pengusaha ketika memutus hubungan kerja secara sepihak.
- UU Ketenagakerjaan Lama (UU No. 12 Tahun 1964)
Inilah salah satu dasar hukum awal yang mengatur hak pekerja atas pesangon jika terjadi PHK. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan hidup pekerja sementara mereka mencari pekerjaan baru.
- UU No. 13 Tahun 2003
UU ini menyempurnakan aturan pesangon, menetapkan formula perhitungan, dasar waktu kerja, dan alasan PHK yang memengaruhi besaran hak.
- UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020 dan UU No. 6/2023)
Pesangon tetap diatur, tetapi beberapa ketentuan diubah. Termasuk besaran dan skema pembayaran (bisa sebagian ditanggung JKP dari BPJS Ketenagakerjaan).
Kesimpulan: Pesangon lahir sebagai bentuk perlindungan sosial, yang mengalami perkembangan sesuai dinamika hukum ketenagakerjaan dan ekonomi nasional.
Kenapa uang pesangon kena pajak
Uang pesangon dikenakan pajak karena secara hukum dianggap sebagai penghasilan yang diterima oleh pekerja saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pajak tersebut termasuk dalam kategori PPh 21 (Pajak Penghasilan Pasal 21), yang berlaku atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Dasar Hukumnya:
- UU Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh)
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak terkait PPh 21 atas PHK, pensiun, dan pembayaran sejenis.
Tarif dan Ketentuannya:
- Pesangon tidak langsung dikenakan pajak penuh, ada lapisan tarif progresif dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) khusus:
- Penghasilan bruto pesangon hingga Rp50 juta → 0% (bebas pajak)
- Rp50–100 juta → 5%
- Rp100–500 juta → 15%
- Di atas Rp500 juta → 25%
Tujuan Pengenaan Pajak:
- Keadilan fiskal: Semua jenis penghasilan dikenai pajak, termasuk pesangon.
- Penerimaan negara: Sebagai sumber pendapatan dari sektor perpajakan.
Namun, pemerintah tetap memberikan keringanan tarif untuk pesangon agar tidak terlalu memberatkan pekerja yang terkena PHK.
Kesimpulan dari keduanya antara pesangon dengan pajak apa dan kenapa pekerja menolak pesangon kena pajak
Kesimpulan:
- Pesangon adalah kompensasi yang wajib diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang mengalami PHK, sebagai bentuk penghargaan atas masa kerja dan jaminan sosial ekonomi sementara.
- Pajak atas pesangon (PPh 21) dikenakan karena pesangon dianggap penghasilan yang diterima pekerja, sesuai dengan UU Pajak Penghasilan. Namun, tarifnya lebih ringan dibanding penghasilan rutin (karena ada lapisan tarif dan pembebasan hingga Rp50 juta).
Mengapa pekerja sering menolak pesangon dikenai pajak?
- Pesangon bukan pendapatan rutin, melainkan dana kompensasi atas PHK — dianggap sebagai hak penuh pekerja, bukan objek pajak.
- Kondisi PHK biasanya menyulitkan secara ekonomi. Maka, dipotong pajak dinilai tidak adil dan memberatkan.
- Ada pandangan moral dan keadilan sosial bahwa kompensasi karena diberhentikan seharusnya bebas pajak untuk menjaga daya tahan ekonomi pekerja pasca-PHK.
Kesimpulan akhir:
Secara hukum, pesangon adalah objek pajak. Namun secara moral dan sosial, pekerja menilai seharusnya pesangon dibebaskan dari pajak karena bukan penghasilan aktif, melainkan bentuk perlindungan atas kehilangan pekerjaan.
Membedah Tuntas Uang Pesangon: Hak Pekerja, Landasan Hukum, dan Kontroversi Pajak PPh 21
Bogor, Uang pesangon seringkali menjadi topik sensitif dan krusial dalam hubungan industrial. Meskipun diatur ketat dalam undang-undang, masih banyak pekerja yang belum sepenuhnya memahami makna, hak, dan kewajiban perpajakan yang melekat padanya.
Apa Itu Uang Pesangon? Kompensasi PHK dan Perlindungan Ekonomi
Uang pesangon didefinisikan sebagai sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja sebagai kompensasi saat hubungan kerja berakhir melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan ekonomi sementara bagi pekerja yang baru kehilangan sumber penghasilan.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (yang mengubah UU No. 13 Tahun 2003), pekerja yang di-PHK berhak atas:
Uang Pesangon
Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
Uang Penggantian Hak (UPH)
Besaran pesangon dihitung berdasarkan masa kerja dan alasan PHK (misalnya efisiensi, pensiun, atau pelanggaran). Pembayaran ini bersifat sekali bayar, bukan rutin seperti gaji.
Sejarah: Dari Tanpa Jaminan Menjadi Perlindungan Sosial
Sejarah uang pesangon di Indonesia berakar dari semangat perlindungan terhadap pekerja. Pada masa Kolonial Belanda, buruh diberhentikan tanpa jaminan. Konsep pesangon mulai muncul pasca-kemerdekaan sebagai bentuk tanggung jawab pengusaha.
“Pesangon lahir sebagai bentuk perlindungan sosial yang terus berkembang sesuai dinamika hukum ketenagakerjaan dan ekonomi nasional,” konsideran UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Dasar hukumnya diperkuat melalui UU Ketenagakerjaan lama (UU No. 12 Tahun 1964) hingga disempurnakan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Saat ini, aturannya termaktub dalam UU Cipta Kerja, yang juga memperkenalkan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang sebagian kewajiban pesangon dapat ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Kenapa Pesangon Dikenai Pajak?
Meskipun bertujuan melindungi pekerja, secara hukum uang pesangon dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karena dianggap sebagai penghasilan yang diterima oleh pekerja. Dasar hukumnya adalah UU Pajak Penghasilan.
Namun, pemerintah memberikan keringanan tarif melalui lapisan tarif progresif khusus:
Penghasilan bruto pesangon hingga Rp50 juta: 0% (Bebas Pajak)
Rp50–100 juta: 5%
Rp100–500 juta: 15%
Di atas Rp500 juta: 25%
Tujuan pengenaan pajak adalah keadilan fiskal—semua jenis penghasilan dikenai pajak—serta sebagai sumber penerimaan negara.
Kontroversi: Mengapa Pekerja Menolak Pajak Atas Pesangon?
Meskipun tarifnya lebih ringan dibandingkan penghasilan rutin, pengenaan pajak atas pesangon sering memicu penolakan dari kalangan pekerja.
Alasan utama penolakan meliputi:
Status Dana: Pekerja memandang pesangon sebagai dana kompensasi atas hilangnya pekerjaan dan penghargaan atas masa kerja, bukan pendapatan rutin, sehingga seharusnya menjadi hak penuh yang bebas pajak.
Kondisi Ekonomi: PHK seringkali membawa kesulitan ekonomi. Pemotongan pajak dinilai memberatkan dan mengurangi daya tahan finansial pekerja pasca-PHK.
Kesimpulan Akhir: Secara yuridis, pesangon adalah objek pajak. Namun, secara moral dan keadilan sosial, muncul tuntutan agar pesangon dibebaskan dari pajak sebagai bentuk perlindungan maksimal terhadap pekerja yang kehilangan pekerjaan. [Red]





















Leave a Reply